Kamis, 26 Januari 2012

Alunan Cinta Tuhan

Dor!
Suara ledakan pistol dan baku hantam yang bertempat di gudang suatu pabrik di distrik Shibuya menodai indahnya sore hari. Kazuo terdiam, menatap dingin anak buahnya yang sedang bertarung mempertaruhkan nyawa.Matanya melirik kesana-kemari, mencari seseorang yang menjadi dalang pertempuran ini.Seseorang yang dengan beraninya mengajak kelompoknya bertarung. Lalu matanya menangkap sosok itu, sedang berdiri di sudut memandangi dengan takut anak buahnya sendiri yang sepertinya akan kalah. Kazuo tersenyum sinis, lalu berjalan menghampirinya.
Sikap sombongmu itu hanya akan menghancurkanmu, Yuga. Dengan beraninya kau mengajakku bertempur, berarti dengan beraninya pula kau coba tuk mengakhiri hidupmu, batin Kazuo.
“Sepertinya kau senang sekali anak buahmu berada di ambang kematian,” ucap Kazuo kepada Yuga sambil tersenyum menakutkan. “Mengapa kau tidak ikut bertarung, Yuga? Tidak seru rasanya jika kau tidak mengikuti pertempuran yang bahkan sengaja kau rancang demi menghancurkan klanku.”
“Kau tidak pantas berkata begitu, brengsek!” Maki Yuga dengan sisa keberanian yang dimilikinya. Tubuhnya sudah menggigil hebat karena ketakutan. Tatapan dingin Kazuo mampu membuatnya merinding. Seakan-akan di depannya telah berdiri malaikat maut yang siap menjerat sisa hidupnya. Tetapi ia beranikan dirinya mencela pemuda yang setengah mati dibencinya. “Dasar anak muda yang sok! Kau pikir kau bisa denagn mudahnya menjadi ketua klan, hah? Anak busuk sepertimu tidak pantas menjadi ketua Klan Yakuza nomor satu di Jepang! Anak muda sepertimu hanya akan menjadi sampah untuk klan Touko! Hanya aku yang berhak, hanya aku yang berhak menjadi ketua! Hahahaha..”
Dor! tembakaan Kazuo pas mengenai jantung Yuga, menghentikan tawanya, lalu ia terkapar seketika.
“Cih!Mulut besar,” gumam Kazuo penuh kebencian.
Ia berbalik, lalu dilihatnya anak buahnya yang juga sedang menatapnya senang. Sorot mata mereka penuh dengan binar bangga karena telah memenangkan pertempuran.Lalu dilihatnya puluhan anak buah Yuga yang sudah tergeletak tak berdaya.
“Kerja yang bagus, anak buahku. Sekarang bereskan senjata, cek agar tidak ada satu pun yang tertinggal! Hilangkan bukti yang mengesankan bahwa kita yang membuat kekacauan di tempat ini! Biar klan Yuga saja yang beurusan dengan polisi,” perintah Kazuo.
Anak buah Kazuo langsung melaksanakan perintah.Tak sampai 10 menit semua sudah beres. Mereka langsung naik ke mobil yang diparkir di depan gudang pabrik untuk pulang ke markas mereka.
“Tuan tidak pulang?” Tanya Kyouhei anak buah Kazuo yang heran melihat bossnya berjalan kea rah berlawanan.
“Tidak. Aku ingin menyisir daerah ini sebentar.Kalian pulanglah duluan,” Ujar Kazuo.
Setelah anak buahnya pulang, Kazuo menyusuri jalan yang sepi. Entah kenapa ia sangat ingin sendirian. Ia sedang malas mendengar teriakan-teriakan dan ocehan anak buahnya. Ia merindukan kesunyian.
Aku lelah dengan semua ini, batin Kazuo perih.
Terlahir di keluarga Touko, klan yakuza terkuat di Jepang, membuat Kazuo seolah hidup seperti boneka. Hanya dikendalikan oleh kakeknya yang menjadi ketua Yakuza kala itu. Ayah dan ibunya tak pernah menyapanya. Hubungan ayahnya dan kakeknya yang tidak baik lebih dari cukup untuk menjelaskan kekakuan hubungannya dengan keluarganya. Dididik dari kecil untuk menjadi seseorang tak berperasaan, diajari bagaimana cara membunuh, dan mengeruk keuntungan pribadi tanpa mempedulikan orang lain membuat hatinya menjadi sekeras batu.
Tetapi ia hampa. Dan ia tahu itu.
Rasanya menyakitkan. Sakit yang tidak bisa dihapus dengan cumbuan wanita-wanita dan para geisha yang menemaninya tiap malam. Sakit yang tidak bisa dihilangkan dengan meluaskan kekuasaan dan membunuh orang seenaknya. Sakit yang tidak bisa ditawar dengan tumpukan koper penuh uang yang ia dapatkan dari mengeruk keuntungan.
Hatinya terlalu beku untuk menangis karena kesakitan itu.
Dan justru rasanya lebih menyesakkan.
Sudahlah, tak pantas bagi seorang ketua klan yakuza`sepertiku terlalu sering memakai perasaan seperti tadi. Tak ada yang beres jika diselesaikan dengan hati. Persetan dengan keluarga itu! Makinya dalam hati.
Tak terasa sudah satu jam lebih ia berjalan. Dilihatnya mega merah sudah membayung di langit, menandai berakhirnya siang hari dan siap menyambut malam yang pekat. Dipandangnya wilayah sekitarnya. Ia hanya asal berjalan, tak tahu dimana sekarang ia berada. Dilihatnya rumah-rumah yang berjejer.
Rumah.Tempat kembali. Cih, tempat kembaliku hanya akan bermuara pada kegelapan.
Tiba-tiba ia merasakan dadanya sakit sekali, seperti dihantam godam.
“Aargh!” jeritnya kesakitan sambil tersungkur. Ia menyentuh dadanya, merasakan kesakitan yang luar biasa. Pandangannya mengabur. Lalu samar-samar ia mendengar langkah kaki yang mendekatinya.
“Astaghfirullah!Kau kenapa?” ucap seorang perempuan yang menghampirinya.
“Siapa kau? Pergi! Jangan hiraukan aku!”
“Ugh, masih sempat-sempatnya sok kuat. Ayo, kau butuh perawatan!” ucap perempuan itu sambil mengulurkan tangannya.
Kazuo mengambil pistol yang terletak di pinggangnya dan mengacungkannya pada perempuan itu.
“Jangan sentuh aku! Akan kutembak kau jika berani menyentuhku!” seru Kazuo. Kazuo berusaha memfokuskan pandangannya. Tetapi yang mampu dilihatnya hanya kepala yang berbalut kain biru muda.
Lalu ia tak mampu melihat apa-apa lagi.


                Susah payah Ara membopong tubuh berat pemuda itu masuk ke rumahnya. Digesernya pintu, lalu ia baringkan pemuda itu di atas kasur gulung yang sudah ia keluarkan sebelum ia keluar dari rumah. Ia selimuti tubuh itu, dan meletakkan bantalan berisi air hangat di atas dadanya. Seraya berharap itu bisa mengurangi sakitnya.
                Ia meletakkan pistol pemuda itu di tempat yang tak terjangkau olehnya. Berjaga-jaga agar pemuda itu tidak mencoba menembaknya lagi. Dari pistol yang dimiliki pemuda itu dan penampilannya, Ara yakin bahwa pemuda itu adalah seorang yakuza, komunitas yang sangat dihindari para warga Jepang.ia menyadari kebodohannya menolong salah seorang yang sangat ditakuti di Jepang, apalagi membawanya ke rumahnya! Sangat bodoh. Sesaat ia menyesali keputusannya. Tetapi mengingat wajah kesakitan pemuda itu tadi, ia cukup yakin bahwa itu adalah pilihan yang tepat.
                Toh, ia juga manusia. Sangat tidak manusiawi sekali jika aku tidak menolongnya tadi, batin Ara.
                “Allahu akbar! Allahu akbar! Allahu akbar! Allahu akbar!” Suara adzan terdengar dari iPhone milik Ara, menandakan sudah tiba waktunya bagi seorang muslim sepertinya untuk bersembhayang memuja Tuhannya. Bertemu dan mengadu hanya kepada-Nya.
                Ia pun berwudhu dan memakai mukena. Ia gelar sajadahnya di samping kasur tempat pemuda yakuza itu terbaring, sekalian berjaga-jaga jika ia terbangun.
                Setelah sholat dan berdoa, ia pun mengambil mushaf kecil di atas meja dan mebaca surah Ar-Rahman. Surat yang berisikan tentang nikmat Tuhan bagi orang-orang yang mematuhi perintah-Nya dan siksaan bagi para pembangkang-Nya ini dibaca Ara dengan sepenuh hati hingga matanya mulai basah karena air mata. Kalam-Nya yang luar biasa indah menggugah hati siapapun. Termasuk hati Kazuo yang terbangun karena mendengar suara Ara saat membaca Al-Quran. Ia terperangah melihat gadis di depannya melantunkan nada lagu yang sangat indah, tak pernah terdengar olehnya selama 25 tahun ia hidup. Lantunan itu membuat hatinya tenang. Mencairkan semua kebekuan hatinya sehingga tiba-tiba air matanya menetes. Semakin lama semakin hebat, hingga ia terisak kecil. Ara yang mendengar isakan itu langsung menghentikan bacaan Qur’annya dengan membaca shodaqallahul ‘azhiim lalu menghampiri Kazuo.
                “Doushite? Kenapa menangis? Ada yang sakit?” Tanya Ara cemas.
                Kazuo memandang wajah gadis di depannya. Seraut wajah berbentuk oval, berkulit kuning langsat, dengan hidung mancung dan bibir yang pas menmpati site-nya. Lalu ia menatap matanya. Mata terindah yang pernah dilihat Kazuo. Besar dan indah, tidak seperti orang Jepang yang umumnya bermata sipit. Bulu matanya tidak terlalu lentik, tetapi panjang dan cantik. Alis matanya yang tebal melintang tegas di atas matanya. Rambutnya ditutupi kain yang ia tak tahu apa namanya, tetapi terlihat anggun di matanya.
                “Hei! Kok bengong? Kamu kesakitan?” Tanya Ara.
                “Ah, tidak. Daijobuu. Kau siapa?” Tanya Kazuo ingin tahu.
                “Oh ya, aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Ayara Anjani Musa, tetapi panggil aku Ara saja. Maaf aku lancang membawamu ke rumahku. Habisnya aku tidak tahu lagi bagaimana cara menolongmu yang kesakitan sore tadi,” jelas Ara panjang lebar sambil tersenyum kecil. “Namamu siapa?”
                “Kau tidak tahu aku? Aku Kazuo Touko,” jawab Kazuo. Ia heran ada warga Jepang yang tidak tahu namanya yang jelas-jelas terkenal sebagai salah satu orang terjahat di negara ini. Lalu Kazuo teringat saat-saat sebelum ia pingsan. Walaupun samar, ia yakin ia sempat menodongkan pistolnya ke gadis ini. Tetapi ia putuskan untuk tidak mengungkitnya. “Kau bukan orang Jepang ya?” Tanya Kazuo.
                “Bukan. Aku orang Indonesia. Aku tinggal disini untuk melanjutkan pendidikanku. Kau tahu negaraku? Indonesia?” Tanya Ara bersemangat.
                Kazuo tersenyum sinis mendengar nama Negara itu. Bagaimana aku tak tahu, banyak klien bisnis gelapku yang berasal dari sana, batin Kazuo.
                “Ya, aku tahu. Aku sering ke Bali,” jawab Kazuo. “Oh iya, lagu apa yang kau nyanyikan barusan?”
                “Hah? Lagu?Kapan aku menyanyikan lagu?”
                “Yang tadi kau lantunkan sebelum aku bangun apa?”
                “Oh, itu Al-Quran, kitab suci di agamaku. Aku bukan menyanyikannya, tetapi membacanya. Salah satu anjuran di agamaku adalah jika membaca Al-Quran maka sebaiknya kita memperindah suara kita. Karena itu adalah wahyu Tuhan,” jelas Ara panjang lebar.
                “Bisakah kau membacanya lagi? Aku ingin mendengar kau membacanya,” pinta Kazuo.
                Ara terperangah karena kata-kata Kazuo. Ia tak menyangka seorang pemuda yakuza di depannya tertarik dengan Al-Quran. “Dengan senang hati!” sahut Ara senang. Ia pun mengambil mushaf dan membukanya. Sebelum membaca, ia tersenyum manis kepada Kazuo dan langsung membacanya.
                Senyum yang manis sekali. Sampai Kazuo tercekat.
                Lalu ia sadar. Apa-apaan kau, Kazuo!
                Dan terdengarlah untaian ayat kitab suci itu. Kazuo memejamkan matanya, mencoba menghayati setiap lantunan bacaan yang dibaca oleh Ara. Untaian ayat yang entah kenapa mampu meneduhkan jiwanya sejak pertama kali ia mendengarnya. Ara pun membacanya sepenuh hati.
                Tanpa mereka sadari, itu menjadi momen terindah di dalam hidup mereka.


                “Mana pistolku?” Tanya Kazuo. “Aku yakin kau tidak bodoh dengan membiarkannya begitu saja, kau menyimpan pistolku kan?”
                Ara teringat pistol pemuda itu yang ia letakkan di lemari. Sepertinya Kazuo sudah mulai ingat tentang pistolnya. Bingung harus berkata apa, Ara berkata jujur, “Ya, kusimpan pistolmu. Berjaga-jaga agar tidak kau gunakan, wibawamu sebagai seorang Yakuza tidak berlaku di rumahku, tahu,” kata Ara.
                “Kau tahu aku orang jahat, lalu mengapa kau menolongku?” Tanya Kazuo penasaran.
                Ara terdiam. Ia sendiri tidak tahu mengapa ia menolong Kazuo. Yang ia tahu, ia pun menderita saat melihat Kazuo kesakitan
                “Entahlah, aku juga tidak tahu mengapa aku menolongmu. Yang jelas, aku sekarang tidak menyesal.”
                “Hei, aku bisa saja melakukan hal-hal yang tidak kau inginkan. Aku bisa saja membunuhmu disini. Kau tidak takut?” Tanya Kazuo heran.
                Ara terdiam. Sebenarnya ia sudah sangat takut. Pemuda di depannya ini adalah seorang Yakuza terhebat di Jepang, dan ia bisa dengan mudah membunuhnya. Tetapi entah kenapa, keberaniannya tiba-tiba muncul,
                Allah dekat denganmu, Ara, batinnya kepada dirinya sendiri.
                “Aku punya Tuhan, Kazuo-san. Dan aku yakin Ia akan menolongku jika kau bermaksud untuk membunuhku,” kata Ara mantap.
                Kazuo terperanjat, tak menyangka Ara akan menjawab seperti itu. Ia tatap mata gadis itu, dan ia temukan keyakinan disana.
                Gadis ini benar-benar penuh kejutan, batin Kazuo.
                “Baiklah, pasti tiba saatnya kau akan menyesal telah membiarkanku berada di rumahmu,” ujar Kazuo pelan.
                “Kazuo-san, ada satu hal yang aku percaya. Sejahat-jahatnya seseorang, hati nuraninya pasti baik. Tak peduli ia telah membunuh ribuan orang atau melukai hati jutaan orang, hati nuraninya pasti seputih hati malaikat,” ucap Ara. “Dan aku tidak tahu dari mana keyakinan itu kudapatkan, bahwa aku yakin hati nuranimu juga seperti itu.”
                Kazuo menatap Ara nanar.“Cih! Kau percaya Tuhan, Ara? Buktikan kepadaku bahwa Tuhanmu itu ada!” kata Kazuo.
 “Ya, aku percaya Tuhanku. Aku percaya Dia ada, walaupun aku tidak bisa melihatnya. Tuhan itu ada dan Dia dekat, Kazuo-san. Lebih dekat daripada urat leher kita sendiri,” ujar Ara mantap sambil tersenyum. “Maaf aku tidak bisa membuktikannya secara langsung kepadamu, tetapi akan tiba saatnya kau mengerti, Kazuo-san.”
                Kazuo hendak membantah kata-kata Ara, tetapi tiba-tiba hal itu datang lagi.
                Sakit menyiksa yang ia rasakan di dadanya.
                Ia menjerit kesakitan. tetapi sekeras apapun ia menjerit, rasa sakit itu tidak akan pernah hilang.
                Lebih baik mati daripada merasakan sakit ini…
                Lalu semuanya gelap.


                Senja hari, di depan sebuah nisan. Seorang pemuda sedang membaca sepucuk surat yang kertasnya sudah menguning.
                Kazuo-san…
                Mungkin saat kau baca surat ini, aku tidak akan pernah muncul di depanmu lagi.
                Tetapi tak apa. Tak ada yang lebih membahagiakan daripada mengetahui bahwa kepergian kita membawa kebaikan bagi orang lain.
                Seperti kepergianku.
                Apakah kau ingat, Kazuo-san?Saat kau bertanya mengapa aku menolongmu?
                Aku dulu tak tahu mengapa.
                Saat melihatmu kesakitan waktu itu, yang aku pikirkan hanya bagaimana cara menyembuhkan sakitmu.
                Tetapi lama-kelamaan, sepertinya aku tahu jawabannya.
                Aku mencintaimu, Kazuo-san. Aku mencintaimu karena Tuhanku.
                Bodoh ya, aku tidak pernah bertemu denganmu sebelumnya. Aku mencintaimu bahkan sebelum aku mengenalmu.
                Tetapi aku yakin rasaku nyata. Melihat sorot matamu yang hampa dan dingin karena hidup dalam kekerasan, menggugah hatiku untuk menopang lelahmu.
                Dan saat melihatmu kesakitan setelah perbincangan kita tentang Tuhan, saat aku mendengar vonis dokter tentang jantungmu, dan juga karena penyakitku sendiri yang kuderita, aku yakin keputusanku ini benar.
                Keputusanku untuk berkorban ‘sedikit’ demi kebahagiaan dan kelangsungan hidumu.
                Dan, aku ingin kau tahu…
                Tuhan itu ada, Kazuo-san.Tuhan itu ada dan telah menakdirkan kita bertemu di waktu senja itu.
                Tuhan itu menyayangimu, Tuhan tahu lembutnya hati nuranimu, Tuhan mengasihimu.
                Terimakasih telah membuatku merasakan perasaan ini sebelum kepergianku.
                Di setiap detik kenangan kita yang sangat singkat, aku tidak akan pernah melupakanmu.
                Manfaatkan hidupmu sebaik-baiknya.
                Sampai jumpa lagi nanti, jika Tuhan menghendaki.
                -Ayara-
                P.S. Kau orang baik, Kazuo-san. Jangan lupakan itu. J


                Kazuo’s Last Note

                Sudah 6 tahun berlalu sejak pertama kali ku bertemu dengan gadis itu.
                Satu-satunya gadis yang tidak takut kepadaku. Gadis yang mengajariku tentang Tuhan, tentang hati nurani, tentang kebaikan hati. Gadis yang mencintaiku, dan juga kucintai sepenuh hati. Rasa cinta yang sayangnya baru kusadari setelah ia pergi karena penyakitnya dengan mengorbankan jantungnya demi kelangsungan hidupku.
                Seribu ucapan rasa terimakasih tidak akan bisa mewakili segala rasa syukurku kepada Tuhan karena telah mempertemukanku dengannya.
                Aku percaya Tuhan. Aku percaya Tuhan itu ada.
                Dan sampai sekarang, sejak peristiwa itu, Alhamdulillah syahadatku masih terus bertahan sampai sekarang.
                Aku bukanlah lagi seorang ketua klan Yakuza. Aku hanya seorang hamba-Nya. Seorang hamba yang mencintai Tuhannya dan makhluk-Nya yang telah berada di sisi-Nya.
                Dimanapun kau berada, doaku selalu menyertaimu. Terimakasih atas kehadiranmu di hidupku dan cintamu. Aku mencintaimu karena Allah, Ayara.

(Yogyakarta, 15 Januari 2012, 19:58)